Cerita Dewasa Perawan Seksi Bispak Dokter Kumala - Cerita ngentot terhot, Sebelumnya kisah sex yang pernah saya publish ialah
Cerita Dewasa Hot Kenikmatan Wanita Setengah Baya. Cerita
sex terbaru, novel sex terlengkap, cerita dewasa terupdate, cerita
mesum terbaik, cerita ngentot terpopuler, cerita bokep terselubung,
cerita xxx terhot, cerita ml abg perawan, cerita porno janda binal |
Mala… hei aku jaga nich malam ini, elu jangan kirim pasien yang
aneh-aneh ya, aku mau bobo, begitu pesanku ketika terdengar telepon di
ujung sana diangkat.
Cerita Sex Terbaru 2016 Perawan Seksi Binal Dokter Kumala
|
Ilustrasi Foto Syur Dokter Horny Mau Esex Esex Sampai Crot |
Novel Seks - “Udah makan belum?” suara merdu di seberang sana menyahut.
“Cie…
illeee, perhatian nich”, aku menyambung dan, “Bodo ach”, lalu terdengar
tuutt… tuuuttt… tuuut, rupanya telepon di sana sudah ditutup.
Cerita Sex Perawan Terhot, Cerita Sex Dokter Horny, Cerita Mesum
Dokter Nakal, Cerita Ngentot Dokter Hypersex, Cerita Ngesex Dokter
Mesum.
Malam ini aku dapat giliran jaga di bangsal bedah sedangkan di UGD alias
Unit Gawat Darurat ada dr. Kumala yang jaga. Nah, UGD kalau sudah malam
begini jadi pintu gerbang, jadi seluruh pasien akan masuk via UGD,
nanti baru dibagi-bagi atau diputuskan oleh dokter jaga akan dikirim ke
bagian mana para pasien yang perlu dirawat itu.
Syukur-syukur sih
bisa ditangani langsung di UGD, jadi tidak perlu merepotkan dokter
bangsal. dr. Kumala sendiri harus aku akui dia cukup terampil dan pandai
juga, masih sangat muda sekitar 28 tahun, cantik menurutku, tidak
terlalu tinggi sekitar 165 cm dengan bodi sedang ideal, kulitnya putih
dengan rambut sebahu.
Sifatnya cukup pendiam, kalau bicara tenang
seakan memberikan kesan sabar tapi yang sering rekan sejawat jumpai
yaitu ketus dan judes apalagi kalau lagi moodnya jelek sekali. Celakanya
yang sering ditunjukkan, ya seperti itu. Gara-gara itu barangkali,
sampai sekarang dia masih single. Cuma dengar-dengar saja belakangan ini
dia lagi punya hubungan khusus dengan dr. Anton tapi aku juga tidak
pasti.
Kira-kira jam 2 pagi, kamar jaga aku diketuk dengan cukup keras juga.
“Siapa?” tanyaku masih agak malas untuk bangun, sepet benar nih mata.
“Dok, ditunggu di UGD ada pasien konsul”, suara dibalik pintu itu menyahut, oh suster Lena rupanya.
“Ya”, sahutku sejurus kemudian.
Sampe
di UGD kulihat ada beberapa pria di dalam ruang UGD dan sayup-sayup
terdengar suara rintihan halus dari ranjang periksa di ujung sana,
sempat kulihat sepintas seorang pria tergeletak di sana tapi belum
sempat kulihat lebih jelas ketika dr. Kumala menyongsongku,
“Fran,
pasien ini jari telunjuk kanannya masuk ke mesin, parah, baru setengah
jam sih, tensi oke, menurutku sih amputasi (dipotong, gitu maksudnya),
gimana menurut elu?” demikian resume singkat yang diberikan olehnya.
“Mala,
elu makin cantik aja”, pujiku sebelum meraih status pasien yang
diberikannya padaku dan ketika aku berjalan menuju ke tempat pasien itu,
sebuah cubitan keras mampir di pinggangku, sambil dr. Kumala mengiringi
langkahku sehingga tidak terlalu lihat apa yang dia lakukan. Sakit juga
nih.
Saat kulihat, pasien itu memang parah sekali, boleh
dibilang hampir putus dan yang tertinggal cuma sedikit daging dan kulit
saja.
“Dok, tolong dok… jangan dipotong”, pintanya kepadaku memelas.
Akhirnya
aku panggil itu si Om gendut, bosnya barangkali dan seorang rekan
kerjanya untuk mendekat dan aku berikan pengertian ke mereka semua.
“Siapa
nama Bapak?” begitu aku memulai percakapan sambil melirik ke status
untuk memastikan bahwa status yang kupegang memang punya pasien ini.
“Praptono”, sahutnya lemah.
“Begini
Pak Prap, saya mengerti keadaan Bapak dan saya akan berusaha untuk
mempertahankan jari Bapak, namun hal ini tidak mungkin dilakukan karena
yang tersisa hanya sedikit daging dan kulit saja sehingga tidak ada lagi
pembuluh darah yang mengalir sampai ke ujung jari.
Bila saya
jahit dan sambungkan, itu hanya untuk sementara mungkin sekitar 2 – 4
hari setelah itu jari ini akan membusuk dan mau tidak mau pada akhirnya
harus dibuang juga, jadi dikerjakan 2 kali. Kalau sekarang kita lakukan
hanya butuh 1 kali pengerjaan dengan hasil akhir yang lebih baik, saya
akan berusaha untuk seminimal mungkin membuang jaringannya dan pada
penyembuhannya nanti diharapkan lebih cepat karena lukanya rapih dan
tidak compang-camping seperti ini”, begitu penjelasan aku pada mereka.
Kira
– kira seperempat jam kubutuhkan waktu untuk meyakinkan mereka akan
tindakan yang akan kita lakukan. Setelah semuanya oke, aku minta dr.
Kumala untuk menyiapkan dokumennya termasuk surat persetujuan tindakan
medik dan pengurusan untuk rawat inapnya, sementara aku siapkan
peralatannya dibantu oleh suster-suster dinas di UGD.
“Mala, elu mau jadi operatornya?” tanyaku setelah semuanya siap.
“Ehm… aku jadi asisten elu aja deh”, jawabnya setelah terdiam sejenak.
Entah
kenapa ruangan UGD ini walaupun ber-AC tetap saja aku merasa panas
sehingga butir-butir keringat yang sebesar jagung bercucuran keluar
terutama dari dahi dan hidung yang mengalir hingga ke leher saat aku
kerja itu. Untung Kumala mengamati hal ini dan sebagai asisten dia cepat
tanggap dan berulang kali dia menyeka keringatku.
Huh… aku suka
sekali waktu dia menyeka keringatku, soalnya wajahku dan wajahnya begitu
dekat sehingga aku juga bisa mencium wangi tubuhnya yang begitu
menggoda, lebih-lebih rambutnya yang sebahu dia gelung ke atas sehingga
tampak lehernya yang putih berjenjang dan tengkuknya yang ditumbuhi
bulu-bulu halus. Benar-benar menggoda iman dan harapan.
Setengah
jam kemudian selesai sudah tugasku, tinggal jahit untuk menutup luka
yang kuserahkan pada dr. Kumala. Setelah itu kulepaskan sarung tangan
sedikit terburu-buru, terus cuci tangan di wastafel yang ada dan segera
masuk ke kamar jaga UGD untuk pipis.
Ini yang membuat aku tidak
tahan dari tadi ingin pipis. Daripada aku mesti lari ke bangsal bedah
yang cukup jauh atau keluar UGD di ujung lorong sana juga ada toilet,
lebih baik aku pilih di kamar dokter jaga UGD ini, lagi pula rasanya
lebih bersih.
Saat kubuka pintu toilet (hendak keluar toilet),
“Ooopsss…” terdengar jeritan kecil halus dan kulihat dr. Kumala masih
sibuk berusaha menutupi tubuh bagian atasnya dengan kaos yang
dipegangnya.
“Ngapain lu di sini?” tanyanya ketus.
“Aku
habis pipis nih, elu juga kok nggak periksa-periksa dulu terus ngapain
elu buka baju?” tanyaku tak mau disalahkan begitu saja.
“Ya, udah
keluar sana”, suaranya sudah lebih lembut seraya bergerak ke balik
pintu biar tidak kelihatan dari luar saat kubuka pintu nanti.
Ketika
aku sampai di pintu, kulihat dr. Kumala tertunduk dan… ya ampun….
pundaknya yang putih halus terlihat sampai dengan ke pangkal lengannya,
“Mala,
pundak elu bagus”, bisikku dekat telinganya dan semburat merah muda
segera menjalar di wajahnya dan ia masih tertunduk yang menimbulkan
keberanianku untuk mengecup pundaknya perlahan.
Ia tetap terdiam
dan segera kulanjutkan dengan menjilat sepanjang pundaknya hingga ke
pangkal leher dekat tengkuknya. Kupegang lengannya, sempat tersentuh
kaos yang dipegangnya untuk menutupi bagian depan tubuhnya dan terasa
agak lembab. Rupanya itu alasannya dia membuka kaosnya untuk
menggantinya dengan yang baru. Berkeringat juga rupanya tadi.
Perlahan
kubalikkan tubuhnya dan segera tampak punggungnya yang putih mulus,
halus dan kurengkuh tubuhnya dan kembali lidahku bermain lincah di
pundak dan punggungnya hingga ke tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu
halus dan kusapu dengan lidahku yang basah.
“Aaaccch… ach…”
desahnya yang pertama dan disusul dengan jeritan kecil tertahan
dilontarkannya ketika kugigit urat lehernya dengan gemas dan tubuhnya
sedikit mengejang kaku. Kuraba pangkal lengannya hingga ke siku dan
dengan sedikit tekanan kuusahakan untuk meluruskannya sikunya yang
secara otomatis menarik kaos yang dipegangnya ikut turun ke bawah dan
dari belakang pundaknya itu.
Kulihat dua buah gundukan bukit yang
tidak terlalu besar tapi sangat menantang dan pada bukit yang sebelah
kanan tampak tonjolannya yang masih berwarna merah dadu sedangkan yang
sebelah kiri tak terlihat. Kusedot kembali urat lehernya dan ia menjerit
tertahan, “Aach… ach… ssshhh”, tubuhnya pun kurasakan semakin lemas
oleh karena semakin berat aku menahannya.
Dengan tetap dalam
dekapan, kubimbing dr. Kumala menuju ke ranjang yang ada dan perlahan
kurebahkan dia, matanya masih terpejam dengan guratan nikmat terhias di
senyum tipisnya, dan secara refleks tangannya bergerak menutupi buah
dadanya.
Kubaringkan tubuhku sendiri di sampingnya dengan tangan
kiri menyangga beban tubuh, sedangkan tangan kanan mengusap lembut alis
matanya terus turun ke pangkal hidung, mengitari bibir terus turun ke
bawah dagu dan berakhir di ujung liang telinganya.
Senyum tipis terus menghias wajahnya dan berakhir dengan desahan halus disertai terbukanya bibir ranum itu.
“Ssshhh…
acchh…” Kusentuhkan bibirku sendiri ke bibirnya dan segera kami saling
berpagutan penuh nafsu. Kuteroboskan lidahku memasuki mulut dan mencari
lidahnya untuk saling bergesekan kemudian kugesekan lidahku ke
langit-langit mulutnya.
Sementara tangan kananku kembali
menelusuri lekuk wajahnya, leher dan terus turun menyusuri lembah bukit,
kudorong tangan kanannya ke bawah dan kukitari putingnya yang menonjol
itu. Lima sampai tujuh kali putaran dan putingnya semakin mengeras.
Kulepaskan ciumanku dan kualihkan ke dagunya.
Kumala memberikan
leher bagian depannya dan kusapu lehernya dengan lidahku terus turun dan
menyusuri tulang dadanya perlahan kutarik tangannya yang kiri yang
masih menutupi bukitnya. Tampak kini dengan jelas kedua puting susunya
masih berwarna merah dadu tapi yang kiri masih tenggelam dalam gundukan
bukit. Feeling-ku, belum pernah ada yang menyentuh itu sebelumnya.
Kujilat
tepat di area puting kirinya yang masih terpendam malu itu pada jilatan
yang kelima atau keenam, aku lupa. Puting itu mulai menampakkan dirinya
dengan malu-malu dan segera kutangkap dengan lidah dan kutekankan di
gigi bagian atas,
“Ach… ach… ach…” suara desisnya semakin menjadi
dan kali ini tangannya juga mulai aktif memberikan perlawanan dengan
mengusap rambut dan punggungku. Sambil terus memainkan kedua buah
payudaranya tanganku mulai menjelajah area yang baru turun ke bawah
melalui jalur tengah terus dan terus menembus batas atas celana
panjangnya sedikit tekanan dan kembali meluncur ke bawah menerobos karet
celana dalamnya perlahan turun sedikit dan segera tersentuh bulu-bulu
yang sedikit lebih kasar.
“Eeehhhm… ech…” tidak diteruskan tapi
bergerak kembali naik menyusuri lipatan celana panjangnya dan sampai
pada area pinggulnya dan segera kutekan dengan agak keras dan mantap,
“Ach…” pekiknya kecil pendek seraya bergerak sedikit liar dan mengangkat
pantat dan pinggulnya.
Segera kutekan kembali lagi pinggul ini
tapi kali ini kulakukan keduanya kanan dan kiri dan, “Fran… ugh…”
teriaknya tertahan. Aku kaget juga, itu kan artinya Kumala sadar siapa
yang mencumbunya dan itu juga berarti dia memang memberikan kesempatan
itu untukku.
Matanya masih terpejam hanya-hanya kadang terbuka.
Kutarik restleting celananya dan kutarik celana itu turun. Mudah, oleh
karena Kumala memang menginginkannya juga, sehingga gerakan yang
dilakukannya sangat membantu.
Tungkainya sangat proporsional,
kencang, putih mulus, tentu dia merawatnya dengan baik juga oleh karena
dia juga kan berasal dari keluarga kaya, kalau tidak salah bapaknya
salah satu pejabat tinggi di bea cukai. Kuraba paha bagian dalamnya
turun ke bawah betis, terus turun hingga punggung kaki dan secara tak
terduga Kumala meronta dan terduduk, dengan nafas memburu dan
tersengal-sengal, “Fran…” desisnya tertelan oleh nafasnya yang masih
memburu.
Kemudian ia mulai membuka kancing bajuku sedikit tergesa
dan kubantunya lalu ia mulai mengecup dadaku yang bidang seraya
tangannya bergerak aktif menarik retsleting celanaku dan menariknya
lepas. Langsung saja aku berdiri dan melepaskan seluruh bajuku dan
kuterjang Kumala sehingga ia rebah kembali dan kujilat mulai dari
perutnya.
Sementara tangannya ikut mengimbangi dengan mengusap
rambutku, ketika aku sampai di selangkangannya kulihat ia memakai celana
berwarna dadu dan terlihat belahan tengahnya yang sedikit cekung
sementara pinggirnya menonjol keluar mirip pematang sawah dan ada
sedikit noda basah di tengahnya tidak terlalu luas, ada sedikit bulu
hitam yang mengintip keluar dari balik celananya.
Kurapatkan
tungkainya lalu kutarik celana dalamnya dan kembali kurentangkan kakinya
seraya aku juga melepas celanaku. Kini kami sama berbugil, kemaluanku
tegang sekali dan cukup besar untuk ukuranku. Sementara Kumala sudah
mengangkang lebar tapi labia mayoranya masih tertutup rapat.
Kucoba
membukanya dengan jari-jari tangan kiriku dan tampak sebuah lubang
kecil sebesar kancing di tengahnya diliputi oleh semacam daging yang
berwarna pucat demikian juga dindingnya tampak berwarna pucat walau
lebih merah dibandingkan dengan bagian tengahnya. Gila, rupanya masih
perawan.
Tak lama kulihat segera keluar cairan bening yang
mengalir dari lubang itu oleh karena sudah tidak ada lagi hambatan
mekanik yang menghalanginya untuk keluar dan banjir disertai baunya yang
khas makin terasa tajam. Baru saat itu kujulurkan lidahku untuk
mengusapnya perlahan dengan sedikit tekanan.
“Eehhh… ach… ach… ehhh”, desahnya berkepanjangan.
ementara
lidahku mencoba untuk membersihkannya namun banjir itu datang tak
tertahankan. Aku kembali naik dan menindih tubuh Kumala, sementara
kemaluanku menempel di selangkangannya dan aku sudah tidak tahan lagi
kemudian aku mulai meremas payudara kanannya yang kenyal itu dengan
kekuatan lemah yang makin lama makin kuat.
“Fran… ambilah…” bisiknya tertahan seraya menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sementara kakinya diangkat tinggi-tinggi.
Dengan
tangan kanan kuarahkan torpedoku untuk menembak dengan tepat. Satu kali
gagal rasanya melejit ke atas oleh karena licinnya cairan yang
membanjir itu, dua kali masih gagal juga namun yang ketiga rasanya aku
berhasil ketika tangan Kumala tiba-tiba memegang erat kedua pergelangan
tanganku dengan erat dan desisnya seperti menahan sakit dengan bibir
bawah yang ia gigit sendiri.
Sementara batang kejantananku
rasanya mulai memasuki liang yang sempit dan membuka sesuatu lembaran,
sesaat kemudian seluruh batang kemaluanku sudah tertanam dalam liang
surganya dan kaki Kumala pun sudah melingkari pinggangku dengan erat dan
menahanku untuk bergerak. “Tunggu”, pintanya ketika aku ingin bergerak.
Beberapa
saat kemudian aku mulai bergerak mengocoknya perlahan dan kaki Kumala
pun sudah turun, mulanya biasa saja dan respon yang diberikan juga masih
minimal, sesaat kemudian nafasnya kembali mulai memburu dan butir-butir
keringat mulai tampak di dadanya, rambutnya sudah kusut basah makin
mempesona dan gerakan mengocokku mulai kutingkatkan frekuensinya dan
Kumala pun mulai dapat mengimbanginya.
Makin lama gerakan kami
semakin seirama. Tangannya yang pada mulanya diletakkan di dadaku kini
bergerak naik dan akhirnya mengusap kepala dan punggungku.
“Yach…
ach… eeehmm”, desisnya berirama dan sesaat kemudian aku makin merasakan
liang senggamanya makin sempit dan terasa makin menjempit kuat, gerakan
tubuhnya makin liar.
Tangannya sudah meremas bantal dan menarik
kain sprei, sementara keringatku mulai menetes membasahi tubuhnya namun
yang kunikmati saat ini adalah kenikmatan yang makin meningkat dan luar
biasa, lain dari yang kurasakan selama ini melalui masturbasi.
Makin
cepat, cepat, cepat dan akhirnya kaki Kumala kembali mengunci
punggungku dan menariknya lebih ke dalam bersamaan dengan pompaanku yang
terakhir dan kami terdiam, sedetik kemudian..
“Eeeggghhh…” jeritannya tertahan bersamaan dengan mengalirnya cairan nikmat itu menjalar di sepanjang kemaluanku dan,
“Crooot…
crooot”, memberikannya kenikmatan yang luar biasa. Sebaliknya bagi
Kumala terasa ada semprotan kuat di dalam sana dan memberikan rasa
hangat yang mengalir dan berputar serasa terus menembus ke dalam tiada
berujung.
Selesai sudah pertempuran namun kekakuan tubuhnya masih
kurasakan, demikian juga tubuhku masih kaku. Sesaat kemudian kuraih
bantal yang tersisa, kulipat jadi dua dan kuletakkan kepalaku di situ
setelah sebelumnya bergeser sedikit untuk memberinya nafas agar beban
tubuhku tidak menindih paru-parunya namun tetap tubuhku menindih
tubuhnya. Kulihat senyum puasnya masih mengembang di bibir mungilnya dan
tubuhnya terlihat mengkilap licin karena keringat kami berdua. Bacaan
sex top:
Cerita Dewasa IGO Hot Terbaru Gara-Gara Salah Jalan“Fran… thank you”, sesaat kemudian, “Ehmmm… Fran aku boleh tanya?” bisiknya perlahan.
“Ya”, sahutku sambil tersenyum dan menyeka keringat yang menempel di ujung hidungnya.
“Aku…
gadis keberapa yang elu tidurin?” tanyanya setelah sempat terdiam
sejenak. “Yang pertama”, kataku meyakinkannya, namun Kumala
mengerenyitkan alisnya. “Sungguh?” tanyanya untuk meyakinkan.
“Betul… keperawanan elu aku ambil tapi perjakaku juga elu yang ambil”, bisikku di telinganya. Kumala tersenyum manis.
“Mala,
thank you juga”, itu kata-kata terakhirku sebelum ia tidur terlelap
kelelahan dengan senyum puas masih tersungging di bibir mungilnya dan
batang kemaluanku juga masih belum keluar tapi aku juga ikut terlelap