Cerita Dewasa Memek Tembem Ayam Kampus Bikin Nagih! - Malam
itu seusai rapat organisasi, aku segera menstart motorku untuk pulang.
Rasanya pengin sekali segera sampai di rumah, makan, lalu tidur. Tetapi
baru saja sampai di gerbang depan kampus seseorang menyapaku, dan ketika
aku toleh arah suara itu ternyata Rina, anak fakultas ekonomi. Ngapain
anak ini sendirian di gerbang?
“Belum pulang, Rin?”
“Belum Den, habis nungguin bis lewat, lama amat.” Jawabnya sambil berkedip-kedip genit.
“Bis lewat ditungguin, gue antar deh?”
“Bener situ mau nganterin?”
“Yah, pokoknya nggak gratis. Situ tau sendiri deh.” Ujarku menggoda.
“Ah, bisa aja.”
Rina mencubit kecil pinggangku lalu segera naik ke boncengan. Tangannya
melingkat erat di pinggangku, lalu melajulah motor di ramainya jalanan
malam. Lama-kelamaan si Rina malah menempelkan dadanya di punggungku.
Tau nggak, rasanya benar-benar empuk dan hangat. Wuih, terasa bener
kalau dia nggak pake beha. Sebagai laki-laki normal, wajar dong kalo
batang penisku tiba-tiba menegang.
“Den, gimana kalo kita mampir ke taman kota? Aku dengar ada dangdutan di sana.” Bisik Rina dekat di telinga kiriku.
“Seleramu dangdut juga ya?”
Rina kembali mencubit pinggangku, tapi kemudian mengelus-elus dadaku.
Tengkukku mulai merinding. Ada maunya nih anak, pikirku waktu itu.
Mungkin aku sedang dihadapkan salah satu ayam kampus, nih. OK, siapa
takut!
Aku segera membelokkan sepeda motor ke taman kota. Lalu mencari tempat
yang agak remang tapi cukup strategis untuk menikmati isi panggung yang
terletak di tengah taman kota itu. Panggung yang kira-kira berukuran 6×6
meter itu tampak meriah dikelilingi ratusan pengunjung. Irama dangdut
menggema memekakkan telinga.
“Den, sini dong? Sini, duduk sama aku.”
Aku duduk di belakang Rina yang masih duduk di boncengan motorku. Gadis
itu nampaknya asyik benar mengikuti irama dangdut. Sedang aku lebih
tertarik memelototi tubuh penyanyinya dibanding suaranya yang menurutku
biasa saja.
Beberapa orang penyayi bergoyang hot membangkitkan gelora birahi para
pria yang memandangnya, termasuk aku. Pandanganku beralih kepada Rina.
Sayang aku hanya bisa memandang ubun-ubunnya saja. Aroma wangi menebar
dari rambutnya yang bisa dibilang bagus, aroma yang eksotik. Kalau saja
ada kesempatan, desahku.
“Den, kok diam saja? Belum pernah lihat orang goyang ya?”
“Bukannya gitu, cuman gila aja mandang tuh cewek. Berani bener joget kayak gitu,”
“Ah, segitu saja. Coba kemarikan tanganmu!”
Aku mengulurkan tangan kananku. Astaga, gadis itu memasukkan tanganku di
balik bajunya sehinga tanganku benar-benar bisa merasakan kegemukan
dadanya. Keringat dinginku tiba-tiba merembes, dadaku bergemuruh.
“Rin, apa-apaan kamu ini?” Ujarku lirih tanpa menarik kembali tanganku.
“Kamu nggak suka ya?” Tanya Rina kalem.
“Engh.. Bukannya begitu..anu” Jawabku tergagap.
“Aku tau kamu suka. Aku juga suka Den, jadi nggak ada masalah kan?” Kata Rina menoleh ke padaku.
“I..iya sih.”
Yah, begitulah. Akhirnya aku punya kesempatan. Tanganku membelai-belai
dada Rina dengan bebasnya. Mempermainkan putingnya dengan gemas,
kupelintir kesana kemari. Gadis itu bukannya kesakitan, tapi malah
mendesah-desah kegirangan. Aku sendiri sudah nggak tahu berapa kali
menelan ludah. Rasanya ingin memelintir puting itu dengan mulutku.
Rupanya tangan kiriku mulai iri, lalu segera menyusul tangan kananku
menerobos masuk di balik baju Rina. Meremas-remas kedua bukit yang tak
terlihat itu.
“Den, Deni.. tangan-tanganmu benar-benar nakal. Hoh.. aduh.. geli Den,” Desah Rina menjambak rambutku yang cukup gondrong.
“Rin, aku suka sekali.. bagaimana kalau kita..”
“Uhg.. heeh, iya.. aku mau.”
Aku segera menghentikan kegiatanku mengobok-obok isi baju Rina. Lalu
kami segera menuju sebuah hotel yang tak jauh dari taman kota. Tiada
kami peduli dengan beberapa pasang mata yang memandangi kami dengan
sejuta pikiran. Masa bodoh, yang penting aku segera bisa
mengencani Rina.**
Segera aku bayar uang muka sewa kamar, lalu kami melenggang ke kamar
51. Rina yang sedari tadi memeluk tubuhku kini tergeletak di atas
springbed. Matanya yang sayu bagai meminta, tangannya melambai-lambai.
Aku langsung saja membuka kancing bajuku hingga bertelanjang dada.
“Den.. sudah lama aku inginkan kamu,”
“Oya? Kenapa tak bilang dari dulu?” Ujarku sambil melepas kancing baju Rina.
Benarlah kini tampak, dua bukit kenyal menempel di dadanya.
Tangan Rina membelai-belai perutku. Rasanya geli dan uh.. lagi-lagi aku
merinding. Kutekan-tekan kedua putingnya, bibir gadis itu mengulum
basah. Matanya yang semakin memejam membuat birahiku semakin terkumpul
menyesakkan dada.
“Den.. ayo.. kamu tak ingin mengulumnya? Ayo masukkan ke mulutmu.”
“Heh.. iya, pasti!”
Aku segera mengangkangi Rina lalu berjongkok diatasnya, lalu menunduk
mendekati dadanya. Kemudian segera memasukkan bukit kenyal itu ke dalam
mulutku. Aku hisap putingnya perlahan, tapi semakin aku hisap rasanya
aku pingin lebih sehingga semakin lama aku menghisapnya kuat-kuat.
Seperti dalam haus yang sangat. Ingin rasanya aku mengeluarkan isi
payudara Rina, aku tekan dan remas-remas bukit gemuk itu
penuh nafsu. Rina merintih-rintih kesakitan.
“Den.. hati-hati dong, sakit tahu! Perlahan.. perlahan saja Ok? Heh.. Yah, gitu.. eeh hooh..”
Busyet, baru menghisap payudara kiri Rina saja spermaku sudah muncrat.
Batang penisku terasa berdenyut-denyut sedikit
panas. Rina bergelinjangan memegangi jeans yang aku pakai, seakan ingin
aku segera melorotnya. Tapi aku belum puas mengemut payudara Rina. Aku
pingin menggilir payudara kanannya. Tapi ketika pandanganku mengarah
pada bukit kanan Rina, wuih! Bengkak sebesar buah semangka.
Putingnya nampak merah menegang, aku masih ingin memandanginya.
Tapi Rina ingin bagian yang adil untuk kedua propertinya itu.
“Ayo Den, yang adil dong..” Katanya sambil menyuguhkan payudara kanannya dengan kedua tangannya.
Aku memegangi payudara kanan Rina, mengelusnya perlahan
membuat Rina tersenyum-senyum geli. Ia mendesah-desah ketika aku
pelintir putingnya ke kanan dan ke kiri. Lalu segera mencomot putingnya
yang tersipu dengan mulutku. Puting itu tersendal-sendal oleh lidahku.
“Deni.. dahsyat banget, uaohh.. enak.. ayo Den.. teruss..”
Rina menceracau tak karuan, tangannya menjambak-jambak rambut
gondrongku. Kakinya bergelinjang-gelinjang kesana kemari. Binal juga
gadis ini, pikirku. Aku berpindah menyamping, menghindari sepakan
kaki Rina. Jangan sampai penisku terkena sepakan kakinya, bisa kalah aku
nanti. Justru dengan menyamping itulah Rina semakin bebas. Bebas
membuka resleting jeans yang dipakainya. Tapi dasar binal! Gerakannya
yang tak karuan membuat kami berguling jatuh di lantai kamar. Dan
payudara kanannya lolos dari kulumanku.
“Gimana sih, Rin? Jangan banyak gerak dong!” Ujarku sedikit kesal.
“Habis kamu ganas banget sih..” Hiburnya dengan tatapan menggoda.
Untuk mengobati kekesalan hatiku Rina segera membuka semua pakaiannya
tanpa kecuali. Jelaslah sudah tubuh mungil Rina yang mempesona. Air
liurku segera terbit, inginnya mengganyang tubuh mungil itu.
Tubuhnya yang meliuk-liuk semampai, dua payudaranya yang nampak ranum
bengkak sebesar buah semangka, perutnya yang langsing bagai berstagen
tiap hari, ahh.. Lalu, bagian kewanitaannya! Uhh, pussy itu cukup besar
dengan bulu-bulu basah yang menghiasinya. Pahanya yang sekal membuatku
ingin mengelusnya, dan betisnya yang mulus nan langsat.. ehmm.. Maka
dengan tergesa-gesa aku melucuti pakaianku, tanpa terkecuali!
“Wah! Pistolmu besar Den!” Kata Rina yang segera berjongkok dan meremas gemas batang penisku yang sudah sangat tegang.
“Auh.. jangan begitu, geli kan?” Jawabku menepis tangannya.
“Jangan malu-malu, pistol sebesar ini, pasti ampuh.”
Rina terus saja membelai-belai batang penisku yang ukurannya bisa
dibilang mantap. Semakin lama batang penisku semakin menegang, rasanya
mau meledak saja. Tubuhku bagai tersiram air hangat yang kemudian
mengalir di setiap sendi darahku.
“Engh, auh..” Aku berdehem-dehem asyik saat Rina asyik memainkan jemari tangannya pada batang penisku.
Telunjuk dan ibu jarinya membentuk lingkaran yang kemudian
digerak-gerakkan keluar masuk batang penisku. Layaknya penisku bermain
hula hop. Spermaku mencoba meyeruak keluar, tapi aku tahan dengan sekuat
tenaga. Aku remas-remas rambut panjang Rina.
Tapi kemudian Rina yang semakin gemas segera memasukkan batang
keperkasaanku itu ke dalam liang mulutnya. Lalu dia mengemutnya bagai
mengemut es lilin.
“Ehg.. ehmm.. ”
Terdengar suara desisan Rina bagai sangat menikmati batang penisku,
begitupun aku. Bagaimana tidak, bibir tebal Rina segera melumat kulit
penisku, lalu lidah Rina menjilat-jilat ujungnya. Nafasku serasa putus,
keringatku merembes dari segala arah. Sedang Rina bagai kesetanan, terus
saja menciptakan sejuta keindahan yang siap diledakkan.
Crot.. crot.. Tak ada yang bisa menahannya lagi. Spermaku keluar
menyembur ke liang mulut Rina. Gadis itu nampak sedikit tersedak,
beberapa sperma muncrat keluar mulutnya dan kemudian membasahi pangkal
penisku.
“Ehmm.. ehmm.. keluarkan teruss.. ehmm,” Ujar Rina dengan mulut yang penuh dengan cairan spermaku.
Srup, srup, ia meminumnya dengan semangat sambil tangannya menggelayut
di pahaku. Ujung penisku dikenyot-kenyot membuat geloraku makin
berdenyut-denyut.
Karena tak tahan maka tak ayal lagi aku segera menubruknya. Menindih
tubuh mungilnya lalu melahap bibir nakalnya. Lidah kami bergelut di
dalam, menggigit-gigit gemas dan penuh nafsu. Tak
peduli Rina merintih-rintih. Entah karena aku terlalu rakus mengganyang
bibirnya, atau berat menahan tindihanku. Yang pasti
rintihan Rina terdengar sangat merdu di telingaku.
Maka setelah puas mencumbui bibirnya aku segera beralih kepada
pussy-nya. Benda keramat itu entah sudah berapa kali kebobolan, aku tak
peduli. Kali ini ganti kau yang kukerjain, pikirku.
Langsung saja aku lebarkan paha Rina sehingga jelas pussy berumput yang
sangat basah itu. Jemariku memainkan daging gemuk itu. menyusuri
perbukitan yang berlorong. Lalu memelintir klitorisnya ke kanan dan ke
kiri. Surr.. menyembur lagi cairan kewanitaan Rina. Bening menetes
diantara jemariku.
“Den.. tunggu apa.. ayo dong..”
“Aku datang sayang.”
Wajahku segera mendekat ke pussy Rina. Lalu tanganku sedikit membuka si
pussy sehingga aku bisa menikmati goa kenikmatan itudengan mataku walau
hanya sebentar. Srup, srup, aku jilati pussy basah itu. Lidahku sengaja
mencari-cari lubang yang mungkin bisa kutembus. Lidahku semakin ke
dalam. Mempermainkan klitorisnya yang kenyal. Tanganku pun
menyempurnakan segalanya. Bermain-main di payudara Rina yang semakin
tegang, mengeras. Sayup-sayup terdengar suara erangan Rina. Aku harap
gadis itu juga menikmatinya.
“Ayouhh Den, masukk, aku tak tahan lagi..”
Suara gadis itu terdengar lemah, mungkin sudah keletihan. Aku pun sudah
cukup puas beranal ria. So, tunggu apa lagi?? Aku meminta Rina untuk
menungging. Gadis itu menurut dengan wajah letih namun penuh
semangat. Kemudian aku segera memasukkan penisku ke lubang kawinnya.
Mudah. Sekali hentakan sudah masuk. Lalu kucabut dan kumasukkan
berkali-kali. Lalu kubiarkan terbenam di dalam beberapa menit.
“Eghh..” Rina menahan rasa nikmat yang kemudian tercipta.
Tubuhnya sedikit mengejang tapi kemudian bergoyang-goyang mengikuti
gerakan penisku. Aku segera mengocok penisku dengan kekuatan penuh. Dan
kemudian.. kembali spermaku muncrat keluar memenuhi lubang kawin Rina.
Beberapa saat kami saling menikmati kenikmatan itu. darahku seakan
berhenti mengalir seperti ada hawa panas yang menggantikan aliran
darahku. Seluruh persendian terasa tegang, tapi kemudian seperti ada
rasa kepuasan yang tak bisa terucapkan.
Hingga kemudian aku mencabut kembali batang penisku dari pussy Rina.
Gadis itu kembali terlentang di lantai kamar hotel. Sedang aku segera
menghempaskan tubuhku di atas kasur. Dinginnya lantai kamar yang
menyentuh jemari kakiku tak bisa mengalahkan panasnya suasana kamar itu.
Bau keringat kami berbaur.
Namun tiba-tiba batang penisku yang sudah mulai mengendur tersentuh
kulit halus wanita. Ketika aku mendongakkan wajah ternyata Rina yang
telah duduk di depan kakiku sambil mengelus-elus batang penisku.
“Den, kamu hebat banget. Aku benar-benar puas.”
“Ehng.. kamu juga. Sekarang kamu mau minta apa??”
Gadis itu masih diam sambil terus mempermainkan batang penisku. Gawat,
bisa-bisa bangun lagi batang penisku. Bisa perang lagi nih, dobel dong
tarifnya.
“Kamu minta apa? HP? Duit?”
“Aku minta.. minta lagi deh,” Kata Rina yang kemudian kembali mengenyot batang penisku.
“Waduh, bisa-bisa lembur nih!”, pikirku...