Cerita Dewasa IGO Ngesex Sewaktu Istirahat Kantor - Cerita ngentot terhot, Sebelumnya kisah sex yang pernah saya publish ialah
Cerita Dewasa Hot Terpanas Penghibur Hati yang Sepi. Cerita
sex terbaru, novel sex terlengkap, cerita dewasa terupdate, cerita
mesum terbaik, cerita ngentot terpopuler, cerita bokep terselubung,
cerita xxx terhot, cerita ml abg perawan, cerita porno janda binal |
“Gentlemen, this is Anita, our new creative director,” kata Mr. Jansen,
chief executive media memperkenalkan cewek semampai bersetelan jas
pantalon resmi di sisinya. Si cewek tersenyum kecil pada kami. Sombong
amat! Makiku dalam hati.
Cerita Sex IGO Ngesex Sewaktu Istirahat Kantor
|
Ilustrasi Foto Mesum Wanita Karir Saat Istirahat Kantor |
Novel Seks
- Dia ngoceh dalam bahasa Inggris pada Mr. Jansen yang menunjukkan
mejanya, persis di seberang mejaku. Si Tanti melirik sekilas padaku,
angkuh. “I’ll use my own laptop,” katanya, seakan meragukan kapasitas
deretan Macintosh biro iklan kami. Dari balik monitorku sesekali
kutengok ia. Tidak cantik amat, tapi.. apa ya? Chic? Sensual? Bibirnya
itu lho! Terpikir olehku, bagaimana rasanya.
Cerita Mesum HOT IGO, Cerita Ngentot Cewek Binal, Cerita Sex Terbaru, Cerita Dewasa 2016, Cerita Sex Birahi
Seharian si Tanti duduk di depanku, ia nyaris tak bersuara. Suaranya
yang rendah itu dihematnya untuk bicara soal pekerjaan saja. Selebihnya,
sepi! Tidak kenalan, tidak “say hi”. Pokoknya duduk diam dan asyik
mengetik dan ceklak-ceklik dengan mouse-nya. Saat makan siang pun Tanti
makan dengan diam-diam. Seloroh-seloroh nakal (bahkan bejat) yang sering
dilontarkan teman-teman paling-paling ditanggapinya dengan mengangkat
sudut bibirnya saja.
Selesai makan siang, kami yang mayoritas
laki-laki merokok, kecuali Endah, front-officer merangkap sekretaris dan
Bu Sintha, kepala divisi marketing, serta Ratri bagian rumah tangga
merangkap perpustakaan. Si Tanti merogoh Marlboro Light dan Zippo dari
sakunya. Busyet! Kosmopolitan, nih! Sampai dua bulanan berikutnya si
Tanti tetap seperti gunung es. Dingin, diam, tanpa basa-basi. Ia bekerja
dengan efisiensi ala bule yang memang diingini Mr. Jansen dan para
klien. Soal directing materi iklan dan mengkoordinir para sutradara
production house dia memang jago. Ia juga betah kerja lama, workaholic!
Suatu
ketika biro kami ketiban pulung. Ada perusahaan softdrink besar yang
mempercayakan penggarapan materi iklannya pada kami, untuk semua jenis
media, selama 12 bulan. Kami kerja mati-matian dan praktis lembur tiap
hari. Seperti biasa si Tanti paling ampuh bertahan.
Suatu malam,
akhirnya teman-teman yang sudah begadang empat malam mana tahan juga,
satu per satu pamit pulang duluan. Tinggal Tanti dan aku yang masih
bertahan. Kebetulan kami sama-sama lajang dan aku senior-art-designer,
harus terus berkoordinasi dengannya. Sunyi menyiksaku. Dengan otak
mampet begini, mana bisa ide cemerlang muncul.
“Tan, nggak capek?” kucoba berkomunikasi dengannya.
Ia mengangkat muka dari laptop-nya. Ia tampak curiga dan pasang kuda-kuda.
“Mmm, ya ginilah,” sahutnya pendek.
“Boleh nggak, konsultasi di luar job?” tanyaku.
“Hmm?” ia menTanut rokoknya.
Kucoba bercerita tentang Susan, pacarku. Ia tertawa saja.
“Kalau ‘jam terbang’-mu bagaimana?” pancingku.
“Menurutmu gimana?” tanyanya balik sambil menatapku lurus-lurus.
“Yaah, kamu keliatannya nggak perlu cowok, tuh?”
Ia tersenyum.
“Perlu sih perlu, tapi aku nggak suka terikat.”
“Jujur, ni ye,” ledekku.
“Iya dong. Nggak kayak kamu,” katanya.
Wah, apa nih?
“Aku kenal betul tatapan mata seperti itu,” ia menudingku.
“Aku
tahu apa aja yang biasa kau lihat dari situ, aku juga bisa menebak apa
yang ada dalam otak kreatifmu itu..” sindirnya sambil tersenyum.
Darahku mulai berdesir.
“Apa coba yang aku pikir?” ego maskulinku tertantang.
Tanti menyisihkan laptop-nya.
“Gini. I like her. Aku pikir cewek ini lain, gimana ya rasanya have sex dengannya..” katanya ringan meramal pikiranku.
Aku
nyaris tersedak asap rokokku. Kutatap dia. Dengan tenang ia balas
memandang. Tanpa malu-malu. Testoteron dan adrenalin-ku berpacu. Dia
jelas-jelas memancing. Gobloknya aku!
“Kamu mau?” tanyaku lugas kepalang basah.
“Apa masih kurang jelas?” ia kembali balik bertanya.
Kuangkat bahuku meski dalam hati penasaran.
“Aku
senang kerja denganmu, aku suka ide-idemu, suaramu, sikapmu. Pasti..
cukup hangat melewatkan malam denganmu..” suaranya makin lama makin
rendah.
Aku bangkit dan memadamkan rokokku. Kudatangi mejanya. Ia tetap tenang menantiku.
“Serius?” bisikku di hadapannya.
“Kita capek, dan perlu refreshing ‘kan?” jawabnya pelan.
Kujentik
bibirnya. Ia menatapku tenang. Telunjukku kusapukan ke bibirnya. Ia
diam. Saat sekali lagi kusentuh bibirnya, ujung lidahnya menyentuh
telunjukku. Aku tak sabar lagi. Ia kurengkuh dan kukulum bibirnya. Ia
membalas pelukanku dan menyambut bibirku. Bibirnya yang lembut, kenyal
dan hangat kulumat habis, lidahku menyusup di sela bibirnya.
Dengan
hangat ia menyambut lidahku. Kurapatkan tubuhnya ke tubuhku hingga
payudaranya menekan dadaku. Kurasakan tubuhnya mengencang dan makin
hangat dalam dekapanku. Bibir kami terus bertaut selama beberapa saat.
Sisa aroma rokok di nafasnya makin mengobarkan gairahku sementara
geliginya nakal menggigit kecil bibir dan lidahku.
“Great kiss..”
bisiknya saat kulepaskan untuk bernapas. “You too..” Jemarinya
mencengkam lenganku saat kususuri sisi lehernya dengan bibirku. Ia
gelisah sekali. Tarikan napasnya pendek-pendek dan tersendat. Saat
lidahku menyapu cuping telinganya yang bagus dan napasku menghembus
tengkuknya ia mengeluh pelan sambil menggigit bibir sementara tangannya
liar menggerayangi dada dan punggungku.
Desahnya makin cepat saat
ciumanku menuruni lekuk lehernya. Suhu ruangan yang ber-AC terasa makin
gerah saja. Blusnya kurenggut dari pinggang pantalonnya. Tanganku
mendapatkan pinggangnya yang mulus, hangat dan liat. Kedua belah
tangannya melingkar menahan tengkukku saat ia mengecupi bibirku. Sebelah
tungkainya mulai naik melingkungi pinggangku. Dengan gugup ia meraih
kancing bra-nya saat blusnya kulucuti. Dengan bertumpu pada sisi meja,
kuangkat Tanti dalam gendonganku. Mulutku mendapatkan pucuk-pucuk buah
dadanya yang coklat muda kemerahan dan dengan gemas kunikmati. Sementara
kuremasi pantatnya. Cerita Mesum Ngesex Disela-sela Istirahat Kantor
“Aryo..
Aryo..” desisnya. Sembarangan ia mencoba membuka hem-ku, dua biji
kancing lepas saat tak sabar ia menariknya. Ia merosot dari gendonganku,
dengan jemari bergetar ia berusaha membuka gesper ikat pinggangku.
Tidak berhasil. Tangannya beralih merabai selangkanganku, padahal tanpa
dirabainya pun aku sudah “hard on” dari tadi. Tiba-tiba ia berlutut dan
membuka ritsleting-ku dengan giginya.
Dengan sukarela kubuka
gesperku karena jeans-ku terasa makin sempit oleh kelaminku yang
menggembung. Celana itu segera ditarik turun hingga lepas lengkap dengan
celana dalamku. Tanti menyambut ujung kemaluanku dengan mulutnya
sementara paha dan pantatku habis diremasinya. “Aaahh!” tubuhku serasa
dijalari arus listrik. Tanti agaknya benar-benar tahu cara membuat
laki-laki meniti “ekstase”.
Lidahnya menyusuri batang kemaluanku
hingga ke pangkal zakar. Susah payah kujaga keseimbanganku agar tak
terjatuh tiap kali kepala kemaluanku dihisapnya. Tubuh dan lengan Tanti
serasa membara sementara telapak tangannya dingin dan lembab. Peluh
menitik di pelipisnya. Makin lama makin rapat ia mengulum “anu”-ku.
Sebelah kakiku dikepitnya di sela paha hingga bagian kewanitaannya
menggeser kakiku.
Aku tak tahan lagi. Setengah paksa kulepas ia.
Pipinya merona, rambutnya acak-acakan, bibirnya memerah dan basah oleh
liur. Tubuhnya sedikit menggigil. Ia kelihatan makin seksi. Begitu
pantalonnya merosot saat kubuka dan ia melepas celana dalamnya, tubuhnya
kuangkat dan kusandarkan ke dinding. Kedua tungkainya ketat melilit
pinggangku. Desahnya tertahan saat batang kemaluanku mulai memasuki
liangnya. Geliginya terkatup rapat menahan bibir.
Cerita Sex
- Kukulum bibirnya dan lidahku masuk ke rongga mulutnya. “Mhh!”
jeritnya tertahan bibirku, saat kujejalkan seluruh batang kemaluanku ke
lubang kemaluannya yang kesat dan hangat. “Hhh..” ia menggelinjang,
menggeliat berusaha meronta dari pelukanku saat kugerakkan panggulku
sehingga organku menggeser dinding dalam liangnya yang menyempit
merapati kemaluanku.
Semakin ia memekik dan otot-ototnya berusaha
mendorong batang kemaluanku, makin keras dan dalam kudesak ia.
Kubiarkan ia menggigit bahuku untuk melampiaskan segala yang dirasainya
hingga akhirnya ia mulai mengikuti irama shake up-ku. Hangat nafasnya
menyapu wajahku. Peluh mengembun di sekujur tubuh kami meski suhu AC 17ยบ
C pada dinihari itu. Tanti mengusap peluh di wajahku dan meniupiku.
Tiba-tiba jepitan tungkainya di pinggangku mengetat, denyutan liangnya
pun makin hebat.
Tanti mengatupkan giginya, panggulnya berayun
menyambut setiap desakanku, pelukannya pindah ke panggulku seakan
menuntutku lebih dalam pada setiap goyangan. Lubang kemaluannya kini
lembab dan licin oleh cairan kewanitaannya. Kudekap ia erat-erat.
Akhirnya sebelah kaki Tanti turun dari pinggangku saat ia mencapai
orgasme. Dahinya tersandar di bahuku. Buru-buru ia kubawa ke kursi
terdekat. Gaya knee-trembler begini betul-betul menuntut stamina ekstra.
Di
kursi, Tanti duduk di pangkuanku dan mulai pulih dari orgasmenya.
Seperti biasa ia menatapku terang-terangan. Ujung-ujung jarinya
menyusuri wajahku. Menyibak rambut yang menutupi dahiku, mengikuti
bentuk alisku, menuruni hidungku, menyapu kumisku dan merabai bibirku.
Aku merasa seperti mainan. Saat telunjuknya menyentuh bibir bawahku,
kutangkap tangannya dan kugigit telunjuknya. Ia memekik dan tertawa,
suara tawanya merdu.
Cerita Dewasa - Dia menunduk
padaku sambil menjulurkan ujung lidahnya ke depan bibirku. Tentu saja
kusambut godaannya itu untuk sekian kalinya, lidah merah jambu itu
kutarik ke mulutku dan kukulum, sementara buah dadanya yang kenyal
menekan dadaku yang terbuka. Jantungku serasa berdetak di telinga.
Kuusap kedua gumpalan indah di dadanya itu sembari bibir kami terus
beradu. Tangannya menjangkau tanganku dan membawanya merabai gunung
kembar itu dengan cara yang disukainya. Ia bahkan membiarkanku
meremasnya.
Darahku serasa naik sampai ke kepala. Aku sudah tak
tahan lagi. Kupegang panggulnya dan kudesak ia beberapa kali maju
mundur. Ia sesekali meringis dan mendesis karena gerakan itu, tapi tiap
kali kelaminku menyodoki kemaluannya, tiap kali itu pula ia memajukan
panggulnya hingga rasanya aku masuk makin dalam dan liangnya jadi makin
sempit karena kontraksi.
“Yo..” rintihnya sambil berpegangan erat
pada tepi meja saat kupaksa anuku masuk lebih dalam lagi. Tiap kali ia
mengeluh, memanggilku, aku jadi makin semangat. Bagai kesetanan (mungkin
memang kesetanan) tubuhnya kurangkul, kuciumi bibir, leher dan dadanya
dan kutahan panggulnya kuat-kuat saat semenku menyembur ke liangnya.
Gelenyar nikmat menjalari setiap titik syaraf di tubuhku.
Tanti
berkaca-kaca, segaris air mata membasahi pipi kirinya. “Sakit?” tanyaku.
Ia menggeleng dan merebahkan tubuh ke dadaku. Tanganku diraih dan
diletakkannya di pipinya. Saat itu baru kusadar betapa putih kulitnya
dibanding kulit sawo matang gelapku. Kukecup dahinya. Ia makin merapat
padaku berusaha menghangati tubuh telanjangnya dari suhu AC yang
menggigit.
“Berapa lama sudah?” tanyaku setelah beberapa saat berdiam diri.
“Maksudmu?”
“Ini bukan pertama kalinya ‘kan?” tebakku.
“Kapan terakhir kamu melakukannya?”
“Apa itu perlu?”
“Ingin tahu saja.”
Ia menghela napas.
“Aku tidak segampangan yang kau sangka.”
“Jelas. Tapi boleh dong aku tahu, aku ini nomer berapamu?” rajukku.
Tanti
menghela nafas dan menatapku lurus-lurus. Ia mengangkat dua jarinya di
depan hidungku. “Masa, sih?” tanyaku tak percaya sekaligus bangga.
“Buat apa aku bohong?” katanya sambil berbalik memunggungiku lalu meraih wadah rokok dan pematikku, disulutnya sebatang.
“Siapa yang pertama, pacarmu, teman di kantor lama, atau.. suamimu?” selidikku.
“Bukan urusanmu,” gumamnya.
Asap rokok dihembus kuat-kuat. Kuambil rokoknya. Kuciumi bibirnya.
“Sorry, cuma penasaran aja. Jangan-jangan kau hobi meniduri kolega,” ia tertawa.
“Sembarangan. Nggak lah. Mungkin kita cocok aja.”
Ia menggeser mouse-ku dan mengklik ikon Winamp. Sesaat kemudian Get Lost in Your Eyes-nya Debbie Gibson mengalun.
“Cocok, gimana?” kusibak rambut yang menutupi tengkuknya dan kuciumi belakang lehernya.
“Mmm.. kamu.. kreatif..” jawabnya.
Ciumanku menjalar ke punggung, bahu dan pipinya.
“Jelas dong. Senior Art Designer! Tapi masa cuma kreatif aja, nggak ada lainnya?” tuntutku di telinganya.
Aku mulai panas dingin lagi.
“Lho, jarang lho cowok kreatif soal making love,” tegasnya.
“Mhhm. Kalau cowokmu dulu.. gimana?” kejarku.
Ia langsung berbalik dan menyumbat mulutku dengan ciuman.
“Jangan ngomong soal orang itu, ah!” tolaknya.
“OK. soal kita saja, ya.”
Kami
mulai bercumbu lagi. Seperti tadi, ia menggerayangiku ke mana-mana
sementara lidahnya bermain di kedua putingku. Tiba-tiba tangannya
meluncur turun merabai perutku, menyusuri rambut pendek yang tumbuh
mulai bawah pusar hingga ke pangkal batang kemaluanku. Lalu ia mulai
menjahili kelaminku yang setengah ereksi. Betul-betul bikin penasaran.
Cuma telunjuknya saja yang ke sana kemari merambah batang kemaluan
sampai kantung zakar.
Cerita Ngentot - “Shake me,” kataku.
Ia ragu-ragu. Kugenggamkan tangannya ke kelaminku. Ia langsung
melepaskannya. “Please,” pintaku. Sekali lagi kubawa tangannya ke sana.
Ia menekanku lembut. “Sakit nggak?” tanyanya. Aku menggeleng. Ia mulai
mengurutku. Amboi! Si kecil langsung menegang penuh. Tanti menghela
nafas dan merapatkan tubuhnya padaku. Kuangkat ia ke meja poster di
sebelah mejaku. Lembar-lembar storyboard, disain poster, kepingan
negative slide dan sebuah asbak penuh puntung kusapu begitu saja saat
kami menaiki meja.
Babak kedua dimulai. Berada dalam tindihan
tubuhku, Anita begitu penurut dan mesra. Ah, seandainya ia juga begini
saat kami mengolah iklan. Ia seakan tahu apa yang kuinginkan dan
membiarkan aku berbuat semauku. Dinding keramik ruang kerja kami
memantulkan bayangan tubuh kami yang saling merapat, persis seperti
lambang Yin-Yang.
Desah Tanti makin jelas. Meski Tanti menyambut
semua ciumanku dengan hangat dan membawa tanganku kemana-mana menyusuri
tubuhnya, “gerbang selatan”-nya tak seramah si pemilik. Tiap kali kuayun
panggulku agar “tongkat”-ku masuk lebih dalam, “terowongan” yang
tersembunyi di balik hutan kecil itu melawan habis-habisan. Makin
kugoyang, makin sempit saja rasanya. Di antara jepitan-jepitannya yang
heboh, otot liang Tanti sesekali bergerak memutar batangku. Ooh, dimana
anak ini belajar jurus begituan?! Aku sempat kelabakan juga untuk
mengimbanginya. Untung, Tanti sendiri agaknya tak cukup kuat menahan
orgasmenya.
Tak lama kemudian liangnya membasah dan makin licin.
Runtuh juga akhirnya pertahanan yang gigih itu. Dengan semangat juang
membara aku mulai memompa kuat-kuat. Darahku rasanya berdesir-desir di
ubun-ubun karena Tanti masih berusaha melakukan perlawanan terakhir
meski sudah basah kuyup.
Batang kemaluanku rasanya seperti
dipijat maju mundur oleh celah yang penuh dilumasi cairan kewanitaan.
Tanti mulai terengah-engah lagi. Jemarinya yang berkuku pendek mulai
ngawur mencakari bahuku. Kutangkap kedua tangan mungilnya, kubawa ke
atas kepalanya dan kutindih dengan lenganku.
“Jangan galak-galak, dong,” bisikku di telinganya.
“S.. sori, aku nggak tahan..” sahutnya di sambil menarik nafas.
“Nggak tahan ini ya..” kuayun panggulku perlahan hingga kemaluanku bergerak dalam liangnya.
“Ngghh..!” pekiknya sambil menggeliat.
Pahanya langsung mengencang mengepit pinggangku.
“Yo, lepasin dong!” rengeknya sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku.
“Nggak enak, nggak bisa peluk kamu.”
“Asal janji nggak main cakar, perih nih..” tawarku.
Ia mengangguk. Begitu kulepas, ia langsung mengusap bahuku.
“Mana yang perih, ooh, ini ya? Kaciyaann..” ledeknya sebelum mengecupi lecet bekas kukunya itu.
Mau
tak mau aku tertawa juga melihat ulahnya. Jeda sesaat itu ternyata
justru mengobarkan klimaks yang tertunda karena cakaran Tanti. Masih
tertawa-tawa, kuteruskan pompaan ke “jalan bahagia” Tanti yang sudah
banjir deras. Tanti memekik tertahan-tahan setiap kali aku
menggoyangnya. Ia menggeliat, menggelinjang tak karuan dalam tindihanku,
namun tiba-tiba saja tubuhnya merapat erat.
“Te.. rus.. Yo, teruss..” desahnya meracau.
“Tahan Tan, sedikit lagi..” bujukku pada Tanti yang sudah mabuk orgasme.
Dengan
sabar dan lembut Tanti mengulum bibirku, merabai dadaku, melarikan
jemarinya ke tengkuk dan pangkal telinga serta mengusapi rambutku sampai
akhirnya “meriam”-ku meletus habis-habisan dalam liangnya.
Bukan
Anita namanya kalau tidak penuh kejutan. Tak lebih dari sepuluh menit
setelah kami selesai, ia sudah merosot turun dari meja poster dan
memunguti bajunya yang terserak di lantai dan mejaku, sementara aku
masih melayang-layang menikmati sensasi. Cerita Mesum Ngesex Disela-sela
Istirahat Kantor
“Sudah jam empat, kerjaan belum selesai,” katanya.
“Aku mandi dulu.”
Hilang
sudah Anita yang hangat dan merajuk manja. Kini kembali kulihat
creative director yang dingin dan efektif. Hampir sejam Anita di kamar
mandi, ia muncul dalam keadaan wangi dan berbaju bersih. Rambut lurusnya
basah bekas keramas. Sisa air masih menetes-netes di ujung rambutnya.
“Coba kau lihat ini, bagaimana kalau disainnya kita buat begini..” panggilku.
Selama ia mandi aku berhasil menyelesaikan rancangan storyboard utama berkat pikiran yang sudah jernih.
“Ini bagus,” katanya sambil menunduk memandangi disainku di layar komputer.
Entah kenapa tiba-tiba terlintas dalam pikiranku bahwa ia milikku dan jangan sampai teman sekantor lainnya mendekatinya.
“Udah, kamu mandi dulu gih, clean-up-nya biar aku yang rapiin,” katanya dengan nada tak mau dibantah. Bacaan sex top:
Cerita Dewasa Perawan Seksi Bispak Dokter KumalaKali
ini dengan senang hati aku menurutinya. Saat office boy datang pukul
06:00, disain untuk presentasi internal sudah selesai seluruhnya, kami
juga sudah merapikan meja poster yang semalam jadi arena pergumulan.
Pukul 08:00 saat teman-teman datang, mereka cuma melihat creative
director and senior art designer yang asyik berkutat dengan komputer
masing-masing.
“Wah, hebat. Gimana nih kabar pasangan Lapis Legit kita?” ledek Tigor si media planner.
“Sip!” kataku.
“Storyboard utama sudah siap dipresentasikan.”
Tigor ternganga.
“Sialan. Kompak juga kalian,” makinya kemudian.
Pukul
09:30, briefing di mulai. Dengan dingin Anita menerangkan pekerjaan
kami, dan membagi kesempatan bicara untukku, namun tidak sekalipun ia
memandangku. Entah apa yang dipikirkannya. Entah bagaimana kelanjutan
hubungan kami nantinya.